February 06, 2013

Versus1

Hari ini rasanya ingin posting sesuatu yang agak serius.

Here we go.

Email1: Jo, gw nemu tulisan ini nih. Lo tau emak gw fans berat dia nih. Anis matta (bukan band).

Para pahlawan harus berhasil membangun "bunker" dalam jiwa mereka. Tempat kunci-kunci daya hidup mereka tersembunyi dengan aman.
Itulah yang membuat mereka selalu tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan dan gembira dalam segala situasi.

Email2:
Ha ha ha ha..Sumpah mampus.."bunker" ato tulisan itu bener dan berlaku buat gw dari 1980-2010. Habis laki gw mati, dan gw dapet sesuatu yang baru, gw lagi bongkar bunker itu, dan pengin idup tanpa bunker itu.
Bunker itu adalah dinding trauma2 hidup gw..gw nggak mau itu lagi.
Gw pengin hidup dengan RUMI, bukan membentengi diri tapi menghancurkan dan meluluhkan diri, maka yang tersisa hanya Tuhan. Sumpah rumi bener
Orang yang buat benteng dalam dirinya adalah orang yang tidak berani jatuh dan menghancurkan diri, maka dia nggak akan pernah mengambil pelajaran dari apa yang terjadi dengan murni, setiap kejadian yang terjadi akan dia jadikan untuk memperkuat dinding bunkernya,itu yang gw lakukan hampir 30 thn.

Hidup bukan itu, ntar kita lanjutin pas ketemu....

Wait...
Nothing interesting with that emails anyways. Hanya tumpukan percakapan intermezzo menjelang hectic nya deadline jurnal atau submission.

Hal yang menarik adalah pelajaran di balik percakapan-percakapan seperti ini.

Seringnya yang aku temui, ketika bertemu dan diskusi dengan kawan-kawan (atau siapapun) dengan topik apapun -dari Qur'an Sunnah sampai Martin Luther, dari sejarah hingga seni, dari hoby hingga rasa masakan di kantin- kita bisa perhatikan respon yang beragam dari obrolan atau diskusi ringan kita.

Dan amazingly, ternyata membuat sebuah pola.

Heyy, is this another theories from you?
Yep, teori semrawut yang dihasilkan dari observasi sekian lama.

Kalau kawan-kawan ingat beberapa tahun ke belakang, pasti akan paham betul bagaimana aku menyikapi sebuah diskusi.
Yah, so emotional and really into it. No matter what the topics and the event.

Ngotot. Argumentatif. Pokoknya harus ada hasil "menang-kalah" dan sedikit victorious feeling di akhir diskusi.

I apologize for those who felt really annoyed... Aku belum selesai dengan diriku pada saat itu. Mungkin.

Pola yang aku sebut adalah, ada tipikal orang yang harus bersikukuh dengan pendapatnya yang bersebrangan dengan topik awal, tak peduli apapun topik dan situasinya. Pokoknya, harus ada poin di mana mereka tidak setuju, atau minimal punya pandangan sendiri yang berbeda, atau menunjukkan kalau mereka banyak membaca dan tahu banyak teori, atau mempertanyakan apa dan siapa yang paling benar dan atau terbaik.

Apakah salah?
Tentu tidak!
Kalau dilakukan di forum yang memang diharapkan kita melakukan itu.
Ruang diskusi atau di ruang kelas, atau di ruang rapat, misalnya. Dan tujuannya pun mencari solusi yang terbaik. Bukan untuk mencari "pemenang."


And that was me a while ago.

Setelah melewati perenungan yang panjang dalam perjalanan menemukan diri sendiri, baru aku tahu bahwa itu dominasi ego diri.
Bahwa tak peduli betapapun ringannya topik yang dibicarakan (tentang ayam penyet, misalnya) atau topik berat tentang perkembangan politik dan konspirasi dunia, baginya harus ada bagian yang menjadi "ruang pertunjukkan" dan debat kusir. Ruang Ego yang berlebihan.
Hal ini berakibat pada mengerucutnya diskusi menjadi ajang pertarungan "win-lose" dan kemudian suasana menjadi aneh sampai salah seorang kita melempar humor sadis hingga semua tertawa.

Baru aku sadari, betapa sulitnya memang kita "menemukan" diri kita, memahami dan kemudian selesai dengannya, karena memang ego yang mendominasi sangat sulit ditundukkan. Apalagi di antara kawan-kawan atau orang-orang yang memang satu "level" dengan kita. Baik dari segi usia, pendidikan, lingkungan kerja, pergaulan, atau keluarga.

Tapi tidak ada hal di dunia ini yang tidak bisa berubah.
Terutama dengan iman dan ilmu, dan keinginan untuk berdamai dengan diri sendiri.

Setidaknya bagi diri ini. 
Dan itu luar biasa sulit.

Untuk menerima bahwa orang lain juga mempunyai ide hebat, stamina hebat, kepribadian hebat, keluarga hebat, nasib hebat, prestasi hebat, kemampuan hebat, humor hebat, tulisan hebat, keuangan hebat, fisik hebat.

Terbukti so damn hard sangat sulit bahwa kita bukan pusat perhatian dan merasa "kalah" dari yang lain.

Sulit, tapi bukan tidak mungkin.

Untuk memberikan pujian tulus.
Untuk mengakui kelebihan dan kehebatan dengan tulus.
Untuk menerima saran dan kritikan dengan tulus.
Untuk sekedar berbagi dan menerima hikmah dengan tulus.

Untuk tetap tersenyum dan merendahkan suara dengan tulus.


Saat mengingat-ingat bagaimana aku beberapa waktu lalu. Rasanya sangat malu dan tidak pantas.

Tapi, itu mungkin proses yang harus dilalui. Karena tanpa mengalami semua hal itu, aku takkan tahu bagaimana kok bisa ada orang-orang seperti "aku itu" di saat sekarang. Dan mungkin aku bisa berbagi sedikit pengalaman ini untuk sama-sama berubah ke arah yang lebih baik.


*Teruntuk kawan-kawanku yang terakhir kali berdebat sengit tentang poligami di ruang 4x4 Ruqqayah, I'm sorry. Mari kita buat diskusi ulang dengan suasana berbeda hehehehe...*








0 comments: